BAB IX
Kajian Stilistika dalam Karya Sastra
Gaya diartikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, baik penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya (Aminnudin, 1995: v).
Dalam aplikasinya, pemanfaatan gaya bahasa dalam karya sastra sangat bergantung kepada individuasi sastrawan yang dipengaruhi oleh latar sosiohistoris masing-masing. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya bahasa itu bersifat pribadi atau yang mencerminkan orangnya.
Kajian Stilistika dalam Karya Sastra
Gaya diartikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, baik penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya (Aminnudin, 1995: v).
Dalam aplikasinya, pemanfaatan gaya bahasa dalam karya sastra sangat bergantung kepada individuasi sastrawan yang dipengaruhi oleh latar sosiohistoris masing-masing. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya bahasa itu bersifat pribadi atau yang mencerminkan orangnya.
Konsep klasik menganggap gaya bahasa sebagai bungkus atau gagasan sehingga konsep itu membedakan bahasa karya sastra sebagai isi gagasan (subject matter/ content) dan bungkusnya (manner/ expession). Komunikasi modern, gaya bahasa bukan hanya dihubungkan dengan penggunaan bahasa yang indah, melainkan juga merujuk pada isi yang diembannya.
Style ‘gaya bahasa’ menurut Sudjiman (1995: 13) mencakup diksi (pilihan kata/ leksikal), struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra.
Aspek-aspek Stilitiska dalam Kajian Karya Sastra
1. Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsur lingual terkecil dalam satuan bahasa yang dapat menimbulkan dan/atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vokal dan konsonan. Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang peran penting dalam penciptaan efek estetik.
Style ‘gaya bahasa’ menurut Sudjiman (1995: 13) mencakup diksi (pilihan kata/ leksikal), struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra.
Aspek-aspek Stilitiska dalam Kajian Karya Sastra
1. Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsur lingual terkecil dalam satuan bahasa yang dapat menimbulkan dan/atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vokal dan konsonan. Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang peran penting dalam penciptaan efek estetik.
Timbulnya irama indah yang tercipta dalam puisi, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi itu akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana tertentu.
2. Gaya Kata (Diksi)
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya.
Diksi adalah kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide yang meliputi persoal fraseologi, majas, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan. Diksi adalah penentuan kata-kata seseorang untuk mengungkapkan gagasannya. Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu dalam sastranya.
Kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna. Kata-kata yang dipilih pengarang merupakan kata-kata yang dianggap paling tepat dalam konteks karya sastra tersebut. Pengubahan kata-kata dalam baris-baris dalam sebuah karya sastra dengan kata-kata yang lain dapat mengubah kesan total yang dibentuk karya sastra tersebut.
Makna kata bergantung pada penuturnya. Demikian pula, pemanfaatan diksi dalam karya sastra merupakan simbol yang mewakili gagasan tertentu, terutama dalam mendukung gagasan yang ingin diekspresikan pengarang dalam karya sastranya. Sastrawan dituntut cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan wacana, kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan kedudukan kata dalam keseluruhan karya sastra.
Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan. Dalam karya sastra, terdapat banyak diksi antara lain kata konotatif, konkret, kata sapaan khas dan nama diri, kata serapan, kata asing, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam, dan kosa kata dari bahasa daerah Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya.
Kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan. Kata konkret mengandung makna yang merujuk pada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu. Nama diri atau sapaan, nama dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Nama diri atau sapaan selain berfungsi sebagi penanda identitas, juga dapat merupakan simbol.
Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan, dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradap, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek atau terpelajar. Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti.
3. Gaya Kalimat (Sintaksis)
Kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya infers, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Sebuah gagasan atau pesan (struktur batin) dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Karena dalam sastra pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licentia poetica) guna mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya.
4. Gaya Wacana
Menurut Kridaklaksana (1988: 179), wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatika. Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam prosa atau fiksi), bait (dalam puisi atau sajak), keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi.
Gaya wacana dalam sastra adalah gaya wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola serta gaya wacana campur kode dan alih kode. Gaya campur kode adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam karya sastra. Wacana alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain atau adanya partisipan lain.
5. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Figurative berasal dari bahasa latin figura yang berarti form, shepe. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980: 107). Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif atau figurave language menyebabkan karya sastra menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1993: 62). Menurut Middleton (dalam Lodge, 1973: 49), tuturan figuratif dalam aplikasinya dalam berwujud gaya bahasa yang sering dikatakan oleh kritikus sastra sebagai uniqueness atau specialty (keistimewaan, kekhususan) seorang pengarang sehingga gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang.
Bahasa figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning). Bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Ketiga bentuk bahasa figuratif itu diduga cukup banyak dimanfaatkan oleh para sastrawan dalam karyanya.
a. Majas
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yangt terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam kontruksi kalimat (Aminudin, 1995: 249). Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggaya-bahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat.
Pemajasan menurut Scott (1980: 107) mencakup:
1) Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Salah satu wujud kreatif bahasa dalam penerapan makna disebut metafora. Metafora merupakan bahasa figuratif yang paling mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cudoon, 1979: 275).
Klasifikasi metafora: (1) Metafora Universal, (2) Metafora Terikat Budaya
Yang dimaksud dengan metafora universal adalah metafora yang memiliki medan semantik yang sama bagi sebagian besar budaya di dunia, baik lambang kias maupun makna yang dimaksudkan. Untuk menggambarkan medan semantik yang sifatnya universal yang terdapat dalam metafora (bahasa) Jawa, kita dapat mengacu pada sistematika yang telah diusulkan oleh Micael C. Haley (dalam Ching et.al. (Ed.), 1980: 139-154).
Yang dimaksud dengan metafora terikat oleh budaya ialah metafora yang medan semantik untuk lambang dan maknanya terbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini budaya Jawa misalnya. Dengan demikian, cerita yang dipakai untuk menentukan metafora yang terikat oleh budaya itu juga terbatas pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur asli bahasa Jawa saja.
Perkembangan Makna Metafora:
Perkembangan makna majas secara sinkronis
- Makna Bahasa: Kata dikatakan mengandung makna bahasa jika makna itu dapat diberikan secara kebahasaan. Makna bahasa dibagi menjadi tiga yaitu makna semantik, makna ilokusioner, dan makna kontekstual.
- Makna Budaya: Suatu kata dikatakan mengandung makna budaya jika kata itu mencerminkan budaya masyarakat bahasa tempat kata tersebut digunakan. Karena budaya masyarakat berbeda-beda, maka kata yang sama mungkin berbeda pula dari satu budaya ke budaya lainnya (Larson, 1989: 142).
Perkembangan makna majas secara diakronis
- Metafora Tak Berdaya: Metafora dikatakan sudah tak berdaya atau usang, mati jika makna harfiahnya tidak dapat dihubungkan lagi dengan makna majasnya (Keraf, 1991: 124; Trawgott, 1985: 22).
- Metafora berdaya: Metafora dikatakan berdaya atau hidup jika makna harfiahnya dapat dihubungkan dengan makna majasnya. Oleh Trawgott (1985: 22) metafora berdaya dibagi dua yakni metafora konfensional dan metafora inovatif.
2) Simile (Perbandingan)
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, bak, dan kata-kata pembanding lainnya (Pradopo, 2000: 62).
3) Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia.
4) Metonimia
Metonimia atau majas pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
5) Sinekdoki (Synecdoche)
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki (Altebernd dan Lewis, 1970: 21).
b. Idiom
Konstruksi unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain disebut idiom. Yusuf (1995: 118), mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per kata. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
c. Peribahasa (Saying, Proverb)
Peribahasa ialah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun temurun, dipergunakan untuk menghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Peribahasa dalam bahasa Indonesia kedudukan dan peran yang penting karena memiliki makna yang dalam. Bentuk peribahasa itu merupakan penuturan yang sering diucapkan sehari-hari, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Peribahasa menurut Kridalaksana (1988: 131), mencakup pepatah, ibarat (simile), bidal, perumpamaan dan pemeo.
6. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (2000: 174), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.
Citraan literal tidak menyebabkan perubahan atau perluasan arti kata-kata sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan citraan yang harus dipahami dalam beberapa arti. Citraan dalam karya sastra dapat mencerminkan kekhasan individual pengarangnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang khas melalui citraan. Citraan kata banyak digunakan dalam karya sastra, baik puisi, fiksi, maupun drama karena dapat menjadi daya tarik bagi indera melalui kata-kata.
Burton (1984: 97) mengemukakan bahwa citraan kata dalam karya sastra merupakan daya penarik indera melalui kata-kata yang mampu mengobarkan emosi dan intelektual pembaca. Adapun fungsi citraan adalah untuk membuat atau lebih hidup gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik perhatian, dan membangkitkan intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat.
Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni:
1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan.
2) Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra.
3) Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)
Citraan gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis.
4) Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)
Citraan yang ditimbulkan melalui perabaan disebut citraan perabaan. Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra.
5) Citraan Penciuman (Smell Imagery)
Jenis citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual atau pendengaran. Citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman.
6) Citraan Pencecapan (Taste Imagery)
Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa atau membangkitkan selera makan.
7) Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)
Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran.
Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
Semoga artikel Kajian Stilistika dalam Karya Sastra (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 9) bermanfaat
Salam hangat Kajian Stilistika dalam Karya Sastra (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 9), mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Sifat ramalan kali ini.
0 Response to "Kajian Stilistika dalam Karya Sastra (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 9)"
Posting Komentar