A. Grounded Research
Penelitian sastra selalu berkaitan dengan teori sastra pula. Teori itu kadang-kadang kita impor dari negara lain. Kita sering tergila-gila pada teori yang berasal dari barat, seperti teori Abrams, Teeuw, Barthes, Eagleton, Taine, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa peneliti sastra kita dipaksakan untuk membedah karya sastra kita.
Pemaksaan teori tersebut juga telah membingkai peneliti sastra kita ke arah positivisme. Padahal, peneliti positivistik ini belum tentu sejalan dengan kondisi sastra kita. Pemahaman positivistik ini seringkali juga membelenggu lahirnya teori-teori baru di negeri kita. Lebih tegas lagi, kita sering kekeringan teori pemnelitian sastra yang benar-benar membumi. Karena adopsi teori sastra barat tersebut belum sepenuhnya mampu membingkai kondisi sastra kita. Ke-khasan sastra kita kadang-kadang tidak terwadahi oleh teori asing.
B. Kajian Fenomenologi Sastra
1. Titik Tolak fenomenologi Sastra
Fenomenologi adalah tataran berpikir secara filosofi terhadap obyek yang diteliti. Kecenderungan filsafat yang dipelopori Husserl ini menekankan peranan pemahaman terhadap arti. Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak mendorong keterlibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks sastra sesuai kesadaran peneliti. Dalan kaitan ini Gadamer (Selden, 1991 : 117) menjelaskan bahwa sebuah karya sastra tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti yang selesai dan terbungkus rapi. Arti tergantung pada situasi kesejarahan penafsir. Dari penjelasan ini berarti otoritas peneliti sebagai pemberi makna memiliki peranan penting.
Wawasan ini menghendaki agar pengungkapan sebuah gejala didasarkan pada “penjelasan dan pengertian gejala itu sendiri”. Penangkapan gejala tersebut, dalam fenomenologi sastra memang lahir dari berbagai macam fenomenologi. Jika pengenalan gejala berusaha mengungkap pengertian murni obyek sastra, biasanya disebut fenomenologi eidetik. Fenomenologi ini didasarkan pada kajian bahasa, yang meliputi kajian makna dari fenomena dari gejala utama, lalu dipilahkan, disaring dan ditemukan gambaran pengertian murni,. Jika penangkapan fenomena mendasarkan pada kesadaran aktif (cigitto) peneliti, maka ia dinamakan fenomenologi transendental. Berbeda dengan fenomenologi eksistensial, bahwa penentuan gejala semata-mata bersifat individual. Refleksi individual menjadi guru bagi individu sendiri untuk menemukan kebenaran. Pengaruh personal sangat menentukan makna karya sastra.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam pandangan Iser (1988:212) fenomenologi sastra adalah pendekatan yang menekankan pada aspek idea. Dalam mempertimbangkian makna karya sastra, seharusnya tak hanya didasarkan pada teks saja, melainkan perlu adanya tanggapan terhadap teks tersebut. Dalam kaitan ini, Roman Ingarden mengenalkan adanya proses konkretisasi teks setelah dibaca. Tindakan konkretisasi ini hadir dari tanggapan pembaca.
Itulah sebabnya pemahaman karya sastra secara fenomenologi perlu mencermati tingkat-tingkat makna. Sebuah karya sastra tidak satu makna, melainkian memuat sejumlah makna yang berlapis. Tugas fenomenolog adalah menyingkap lapis-lapis makna itu. Senada dengan hal demikian, Roman Ingarden menyebutan bahwa karya sastra pada dasarnya memiliki sejumlah lapisan atau strata makna. Lapisan tersebut meliputi : (a) lapis bunyi, yaitu wujud paparan bahasa sebagai artefak yang mengembangkan makna tertentu, (b) dunia obyektif yang diciptakan pengarang, (c) dunia yang dipandang dari titik perpektif tertentu oleh pengarang dan (d) lapis arti yang bersifat metafisis. Keseluruhan unsur tersebut secara potensial telah ada dalam karya sastra itu sendiri. Penanggaplah yang harus berupaya mengkonkretkan melalui pelibatan kesadaran dalam membaca teks sastra.
C. Kajian Hermeneutik Sastra
1. Pentingnya Hermeneutik
Secara sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur (Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penliti harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik sehingga ditemukan makna utuh.
Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik.
2. Langkah Kerja dan Aspek Kajian
Dalam kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg, 1989:51) mensugestikan bahwa “ our interpretation of a work and our experience of its value are mutually dependent, and each depend upon wahat might be called the psychological ‘set’ our encounter with it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra sangat tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin dewasa si peneliti, tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan pula. Pengalaman peneliti juga amat penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu :
- Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
- Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak pada teks sendiri atau diluar teks.
- Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa kini.
- Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra.
- Penafsiran yang berpangkal; pada suatu problematik tertentu, misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral dan sebagainya.
- Tafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin mmenunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.
----------------------------------------------------------------
Referensi:
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Semoga artikel Model Baru Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #5) bermanfaat
Salam hangat Model Baru Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #5), mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Sifat ramalan kali ini.
0 Response to "Model Baru Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #5)"
Posting Komentar