Kembali kita disuguhi oleh kisah seorang anak berambut ikal dengan nama Ikal juga, yang berasal dari sebuah pulau kecil di bagian selatan Pulau Sumatera, Belitong. Pulau yang sekitar 5 tahun lalu mungkin belum pernah terdengar namanya, namun saat ini menjadi salah satu tujuan wisata “terpanas” di Republik ini berkat tetralogi “Laskar Pelangi” oleh penulis yang sama.
Kali ini Ikal mengungkap sisi lain dari kehidupannya, yakni kecintaannya terhadap sepakbola. Di tetralogi Laskar Pelangi, kecintaannya terhadap sepakbola nyaris tidak pernah disinggung. Dia –Si Ikal maksudnya– malah “mengaku” begitu mencintai bulutangkis.
Namun di novel yang tergolong tipis untuk ukuran Andrea Hirata ini, diungkap tuntas kecintaan Ikal terhadap sepakbola, sebelum akhirnya rasa cinta yang berbuah keinginan besar untuk menjadi pemain PSSI itu kandas dan hal inilah yang membuatnya “ke lain hati” menjadi mencintai bulutangkis.
Ternyata kecintaannya terhadap sepakbola ini bukan tanpa sebab. Berawal dari sebuah foto yang terlarang baginya untuk dilihat, apalagi ditanya, Ikal secara tidak sengaja, atau lebih tepatnya sembunyi-sembunyi, menemukan sejarah bahwa ayahnya yang amat sangat dicintai dan dikaguminya itu pernah menjadi salah seorang pahlawan sepakbola di kampungnya ketika jaman penjajahan Belanda, yang membuat ayahnya tersebut harus mengalami kehancuran tempurung lutut kiri akibat siksaan Belanda yang tidak senang kesebelasan kumpeni dikalahkan kesebelasan jajahan dengan gol semata wayang ayahnya ini.
Mengetahui begitu besar peran ayahnya pada masa itu, Ikal bertekad untuk meneruskan jejak ayahnya sebagai pahlawan sepakbola, dan dengan semangat yang membuncah-buncah, berkali-kali mencoba menjadi pemain sepakbola junior PSSI, namun selalu gagal. Rasa sedih, kecewa, dan merasa bersalah pada ayahnya, sangat memukul jiwa Ikal. Namun kata-kata motivasi dari ayahnya membuatnya kembali bangkit, “Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya.” Sungguh kalimat motivasi terhebat yang pernah keluar dari seorang ayah yang sangat pendiam dan bahkan tak pandai baca tulis itu.
Menyadari ketidakmungkinannya menjadi pemain sepakbola, membuat Ikal puas sekedar menjadi pendukung sepakbola terutama PSSI dengan menyebut dirinya dan para pendukung PSSI sebagai Patriot PSSI. Atas kecintaan yang besar terhadap sepakbola pada umumnya, dan terhadap ayahnya pada khususnya itu pulalah yang membuat Ikal dengan penuh perjuangan mendapatkan baju seragam sepakbola milik Luis Figo –langsung dari markas Real Madrid di Santiago Bernabeu di Kota Madrid, Spanyol, dan lengkap dengan tanda tangan asli Figo– dengan bekerja serabutan siang malam seperti yang biasa dilakoni seorang backpacker, agar uangnya mencukupi harga kaos itu sejumlah dua ratus lima puluh euro. Dan dia berhasil mendapatkannya, tentu saja. Bahkan setelah itu dia berhasil juga menonton pertanding antara Real Madrid vs Valencia, langsung dari tribun di stadion Santiago Bernabeu.
Novel ini memang mengupas kisah haru biru yang menyelimuti para penggila bola di seluruh dunia. Bahwa setiap orang, penggemar fanatik sepakbola, mempunyai kisah dan alasan tersendiri tentang mengapa mereka bisa begitu menggilai sepakbola, yang bahkan di beberapa negara di Eropa dan Amerika Latin, sepakbola telah menjadi “agama” bagi mereka.
Di dalam sepakbola pula, Andrea Hirata mengupas begitu banyak aspek kehidupan yang dapat dipelajari. Sepakbola sebagai life style, sepakbola sebagai seni, sepakbola sebagai psikologi, sepakbola sebagai sejarah, sepakbola sebagai bisnis, sepakbola sebagai politik, sepakbola sebagai budaya, sepakbola sebagai keikhlasan, sepakbola sebagai cinta, dan sepakbola sebagai agama.
Novel singkat yang dari segi sastra sangat sederhana, ringan, dan sangat gampang dicerna orang awam ini, sangat bisa dijadikan pemompa semangat pendukung sepakbola Indonesia ditengah carut-marut kemelut PSSI dan liga-liga di Indonesia. Semoga dapat memberikan inspirasi.
* * *
Febby Fortinella Rusmoyo, penikmat buku, cerpenis muda, penerjemah cerpen, tinggal di Pekanbaru.
Kali ini Ikal mengungkap sisi lain dari kehidupannya, yakni kecintaannya terhadap sepakbola. Di tetralogi Laskar Pelangi, kecintaannya terhadap sepakbola nyaris tidak pernah disinggung. Dia –Si Ikal maksudnya– malah “mengaku” begitu mencintai bulutangkis.
Namun di novel yang tergolong tipis untuk ukuran Andrea Hirata ini, diungkap tuntas kecintaan Ikal terhadap sepakbola, sebelum akhirnya rasa cinta yang berbuah keinginan besar untuk menjadi pemain PSSI itu kandas dan hal inilah yang membuatnya “ke lain hati” menjadi mencintai bulutangkis.
Ternyata kecintaannya terhadap sepakbola ini bukan tanpa sebab. Berawal dari sebuah foto yang terlarang baginya untuk dilihat, apalagi ditanya, Ikal secara tidak sengaja, atau lebih tepatnya sembunyi-sembunyi, menemukan sejarah bahwa ayahnya yang amat sangat dicintai dan dikaguminya itu pernah menjadi salah seorang pahlawan sepakbola di kampungnya ketika jaman penjajahan Belanda, yang membuat ayahnya tersebut harus mengalami kehancuran tempurung lutut kiri akibat siksaan Belanda yang tidak senang kesebelasan kumpeni dikalahkan kesebelasan jajahan dengan gol semata wayang ayahnya ini.
Mengetahui begitu besar peran ayahnya pada masa itu, Ikal bertekad untuk meneruskan jejak ayahnya sebagai pahlawan sepakbola, dan dengan semangat yang membuncah-buncah, berkali-kali mencoba menjadi pemain sepakbola junior PSSI, namun selalu gagal. Rasa sedih, kecewa, dan merasa bersalah pada ayahnya, sangat memukul jiwa Ikal. Namun kata-kata motivasi dari ayahnya membuatnya kembali bangkit, “Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya.” Sungguh kalimat motivasi terhebat yang pernah keluar dari seorang ayah yang sangat pendiam dan bahkan tak pandai baca tulis itu.
Menyadari ketidakmungkinannya menjadi pemain sepakbola, membuat Ikal puas sekedar menjadi pendukung sepakbola terutama PSSI dengan menyebut dirinya dan para pendukung PSSI sebagai Patriot PSSI. Atas kecintaan yang besar terhadap sepakbola pada umumnya, dan terhadap ayahnya pada khususnya itu pulalah yang membuat Ikal dengan penuh perjuangan mendapatkan baju seragam sepakbola milik Luis Figo –langsung dari markas Real Madrid di Santiago Bernabeu di Kota Madrid, Spanyol, dan lengkap dengan tanda tangan asli Figo– dengan bekerja serabutan siang malam seperti yang biasa dilakoni seorang backpacker, agar uangnya mencukupi harga kaos itu sejumlah dua ratus lima puluh euro. Dan dia berhasil mendapatkannya, tentu saja. Bahkan setelah itu dia berhasil juga menonton pertanding antara Real Madrid vs Valencia, langsung dari tribun di stadion Santiago Bernabeu.
Novel ini memang mengupas kisah haru biru yang menyelimuti para penggila bola di seluruh dunia. Bahwa setiap orang, penggemar fanatik sepakbola, mempunyai kisah dan alasan tersendiri tentang mengapa mereka bisa begitu menggilai sepakbola, yang bahkan di beberapa negara di Eropa dan Amerika Latin, sepakbola telah menjadi “agama” bagi mereka.
Di dalam sepakbola pula, Andrea Hirata mengupas begitu banyak aspek kehidupan yang dapat dipelajari. Sepakbola sebagai life style, sepakbola sebagai seni, sepakbola sebagai psikologi, sepakbola sebagai sejarah, sepakbola sebagai bisnis, sepakbola sebagai politik, sepakbola sebagai budaya, sepakbola sebagai keikhlasan, sepakbola sebagai cinta, dan sepakbola sebagai agama.
Novel singkat yang dari segi sastra sangat sederhana, ringan, dan sangat gampang dicerna orang awam ini, sangat bisa dijadikan pemompa semangat pendukung sepakbola Indonesia ditengah carut-marut kemelut PSSI dan liga-liga di Indonesia. Semoga dapat memberikan inspirasi.
* * *
Febby Fortinella Rusmoyo, penikmat buku, cerpenis muda, penerjemah cerpen, tinggal di Pekanbaru.
Semoga artikel Resensi Novel “Sebelas Patriot” Karya Andrea Hirata bermanfaat
Salam hangat Resensi Novel “Sebelas Patriot” Karya Andrea Hirata, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Sifat ramalan kali ini.
0 Response to "Resensi Novel “Sebelas Patriot” Karya Andrea Hirata"
Posting Komentar