TAMU
Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
(Dan Kematian Makin Akrab)
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) agar wacana mempunyai makna (Preminger dalamPradopo, 2008: 119).
Hal ini berarti penekanan pendekatan semiotik adalah pemahaman makna karya sastra melalui tanda-tanda dalam karya sastra. Peirce (dalam Nurgiantoro, 2007: 42) membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu: (1) Ikon, adalah tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan potret dengan dengan orang yang diambil fotonya, atau kesamaan peta dengan wilayah geografi yang digambarkannya; (2) Indeks, adalah suatu tanda yang memiliki kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Misalnya asap merupakan tanda adanya api dan arah angin menunjukkkan cuaca. (3) Simbol, (tanda yang sesuai) adalah hubungan antara penanda dengan petanda yang tidak bersifat alamiah melainkan merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata. Misalnya kata-kata yang menunjukkan suatu bahasa.
Analisis semiotika puisi “Tamu” bertujuan untuk mengungkap makna atau gagasan di balik tanda (yaitu teks puisi). Dalam memahami puisi “Tamu” dengan menggunakan kajian semiotik melalui tahap-tahap diantaranya: 1) pembacaan heuristik yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik atau tiruan alam yang membangun arti yang berserakan. Kajian ini didasarkan pada pemahaman yang lugas berdasarkan denotatif. 2) Selanjutnya, yaitu tahap pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh.
Judul puisi “Tamu” menimbulkan suatu pemikiran ada makna yang tersembunyi di balik judul yang tentunya sang pengarang tidak sia-sia memberikan judul tersebut. Dilihat dari kata yang lugas itu, kita ketahui bahwa ‘tamu’ mempunyai arti: 1) orang yg datang berkunjung (melawat dan sebagainya) ke tempat orang lain atau ke perjamuan; 2) orang yg datang untuk menginap (di hotel), untuk membeli-beli (di toko).
Analisis puisi “Tamu” dilakukan tiap-tiap narasi karena pengarang menggunakan bentuk kalimat-kalimat yang sempurna maupun hampir sempurna secara gramatikal. Maka analisisnya menurut kalimat-kalimat berikut ini:
(1) Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari sudah duduk di ruang tamu.
(2) Aku baru bangun.
(3) Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia.
(4) Rambutku masih kusut dan pakaianku hanya baju kumal dan sarung lusuh.
(5) “Aku mau menjemput,” katanya pasti, seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya.
(6) “Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
(7) “Dia sudah menunggu!”
(8) Ia nampak tak sabar dan tak senang dibantah.
(9) Aku belum tahu siapa yang ia maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
(10) “Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah dengan keluarga. Terlalu kejam untuk meninggalkan mereka begitu saja. Mereka akan mencari.”
(11) Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti.
(12) Siapa dapat lolos dari tuntutannya.
(13) Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
(14) ke sorga atau ke neraka?”
Pembacaan heuristik Puisi “Tamu”
(1) “Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari sudah duduk di ruang tamu”
Lelaki yang mengetuk pintu, berarti seorang laki-laki yang bertamu dengan mengetuk pintu. Pagi hari menunjukkan waktu tamu itu datang. Sudah duduk di ruang tamu berarti tamu tersebut sudah masuk rumah dan duduk di ruang tamu.
(2) “Aku baru bangun”
Kalimat itu menunjukkan bahwa tokoh “aku” baru bangun tidur karena hari waktu itu masih pagi.
(3) “Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”
Kata-kata yang diucapkan tuan rumah itu menandakan bahwa dari gelagatnya tamu itu tidak merasa tersinggung ketika tuan rumah menemuinya dalam keadaan belum mandi. Dalam norma masyarakat, menemui tamu dalam keadaan belum mandi adalah hal yang tidak sopan dan dianggap tidak menghormati tamu.
(4) “Rambutku masih kusut dan pakaianku hanya baju kumal dan sarung lusuh”
Tuan rumah seperti menyampikan alasan bahwa ia belum siap kedatangan tamu. Keadaan tuan rumah digambarkan baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi terlihat rambutnya kusut dan masih memakai pakaian tidurnya yaitu baju kumal dan sarung lusuh.
(5) “Aku mau menjemput,” katanya pasti, seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya
Si tamu mengatakan bahwa ia akan menjemput tuan rumah seolah-olah tuan rumah sudah mempunyai janji dan mengetahui rencananya, padahal tuan rumah tidak mengetahui bahwa tamu itu akan datang dan mau menjemputnya.
(6) “Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
Tuan rumah menyatakan bahwa kedatangan tamu tersebut msih terlalu pagi. Tuan rumah tidak menyangka akan kedatangan tamu di waktu pagi.
(7) “Dia sudah menunggu!”
“Dia sudah menunggu!” merupakan jawaban dari tamu atas pertanyaan tuan rumah. Jawaban itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang sudah menunggu tuan rumah.
(8) Ia nampak tak sabar dan tak senang dibantah.
Dari kata-kata tamu Dia sudah menunggu!, dan dari gelagatnya menunjukkan bahwa si tamu kelihatan tidak sabar dan tidak senang dibantah. Hal itu merupakan reaksi atas alasan yang dilontarkan tuan rumah “Bukankah ini terlalu pagi?”
(9) Aku belum tahu siapa yang ia maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
Ketika tamu menyatakan Dia sudah menunggu!, tuan rumah merasa bahwa ia belum tahu siapa “dia” yang dimaksudkan oleh tamu. Tetapi tuan rumah sudah menduga siapa “dia”.
(1) “Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari sudah duduk di ruang tamu”
Lelaki yang mengetuk pintu, berarti seorang laki-laki yang bertamu dengan mengetuk pintu. Pagi hari menunjukkan waktu tamu itu datang. Sudah duduk di ruang tamu berarti tamu tersebut sudah masuk rumah dan duduk di ruang tamu.
(2) “Aku baru bangun”
Kalimat itu menunjukkan bahwa tokoh “aku” baru bangun tidur karena hari waktu itu masih pagi.
(3) “Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia”
Kata-kata yang diucapkan tuan rumah itu menandakan bahwa dari gelagatnya tamu itu tidak merasa tersinggung ketika tuan rumah menemuinya dalam keadaan belum mandi. Dalam norma masyarakat, menemui tamu dalam keadaan belum mandi adalah hal yang tidak sopan dan dianggap tidak menghormati tamu.
(4) “Rambutku masih kusut dan pakaianku hanya baju kumal dan sarung lusuh”
Tuan rumah seperti menyampikan alasan bahwa ia belum siap kedatangan tamu. Keadaan tuan rumah digambarkan baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi terlihat rambutnya kusut dan masih memakai pakaian tidurnya yaitu baju kumal dan sarung lusuh.
(5) “Aku mau menjemput,” katanya pasti, seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya dan tahu apa rencananya
Si tamu mengatakan bahwa ia akan menjemput tuan rumah seolah-olah tuan rumah sudah mempunyai janji dan mengetahui rencananya, padahal tuan rumah tidak mengetahui bahwa tamu itu akan datang dan mau menjemputnya.
(6) “Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
Tuan rumah menyatakan bahwa kedatangan tamu tersebut msih terlalu pagi. Tuan rumah tidak menyangka akan kedatangan tamu di waktu pagi.
(7) “Dia sudah menunggu!”
“Dia sudah menunggu!” merupakan jawaban dari tamu atas pertanyaan tuan rumah. Jawaban itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang sudah menunggu tuan rumah.
(8) Ia nampak tak sabar dan tak senang dibantah.
Dari kata-kata tamu Dia sudah menunggu!, dan dari gelagatnya menunjukkan bahwa si tamu kelihatan tidak sabar dan tidak senang dibantah. Hal itu merupakan reaksi atas alasan yang dilontarkan tuan rumah “Bukankah ini terlalu pagi?”
(9) Aku belum tahu siapa yang ia maksudkan dengan “dia”, tetapi sudah bisa kuduga siapa.
Ketika tamu menyatakan Dia sudah menunggu!, tuan rumah merasa bahwa ia belum tahu siapa “dia” yang dimaksudkan oleh tamu. Tetapi tuan rumah sudah menduga siapa “dia”.
(10) “Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah dengan keluarga. Terlalu kejam untuk meninggalkan mereka begitu saja. Mereka akan mencari.”
Tuan rumah menyadari bahwa ia akan pergi dengan tamu untuk bertemu dengan “dia”. Oleh karena itu, tuan rumah mengatakan bahwa ia perlu waktu untuk berpisah dengan keluarganya agar keluarganya tidak mencarinya. Tuan rumah merasa dirinya kejam apabila tidak berpamitan dahulu kepada keluarganya.
(11) Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti.
Menanggapi permintaan tuan rumah untuk berpamitan dengan keluarganya dahulu, tamu itu merasa tidak mau tahu karena mereka harus pergi saat itu juga. Tamu itu terlihat angkuh dan seakan-akan memaksa tuan rumah utntuk segera pergi dengannya.
(12) Siapa dapat lolos dari tuntutannya.
Menyadari sikap tamu, tuan rumah merasa bahwa ia tidak bisa menolak ajakan tamu untuk pergi saat itu juga tanpa ia sempat berpamitan kepada keluarganya.
(13) Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
Sebelum tuan rumah sempat untuk bersiap-siap, tamu itu sudah menyeretnya, berarti tamu itu memaksa tuan rumah untuk pergi dengannya. Tuan rumah diajak tamu ke kendaraannya dan ia tidak tahu akan di bawa kemana.
(14) ke sorga atau ke neraka?”
Pernyataan terakhir ini merupakan penutup narasi, kata-kata dari tuan rumah berbentuk pertanyaan, akan dibawa ia oleh tamu itu. Dibawa ke sorga atau ke neraka.
Pembacaan Hermeneutik
Memaknai puisi “Tamu” di atas justru dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan melihat pada baris terakhir, yaitu /ke sorga atau ke neraka?/. Dengan mengetahui arti lugas sorga dan neraka dapat diungkapkan bahwa tokoh “aku” dijemput oleh tamu untuk datang ke sorga atau neraka. Hal ini berarti tokoh “aku” harus meninggalkan dunia untuk kemudian menuju akhirat melalui kematian.
/Lelaki yang mengetuk pintu/ dapat diartikan sebagai utusan Tuhan, yakni malaikat yang akan menjemput setiap manusia. Waktu kedatangannya yang pagi hari menunjukkan bahwa malaikat datang dengan tiba-tiba, tanpa diketahui manusia. Lebih lanjut lagi melalui penceritaan /Aku baru bangun/ menandakan bahwa setiap manusia tidak pernah siap untuk menghadapi kedatangan malaikat (menghadapi kematian). Malaikat sendiri tidak peduli apa kegiatan manusia ketika malaikat harus mencabut nyawanya. Malaikat juga tidak peduli apakah manusia siap menghadapi kematian atau tidak. Hal ini tergambar dalam kata-kata, /Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia/.
Kematian dapat menjemput manusia kapan saja dan dimana saja. Setiap manusia menyadari bahwa ia akan menghadapi kematian kemudian menghadap kepada Tuhan. Meskipun seringkali manusia melalaikan perihal kematian yang sewaktu-waktu bisa menjemputnya dikarenakan ia disibukkan oleh urusan dunia.
Karena kematian bisa menjemput tiba-tiba, sehingga tak ada waktu sedikitpun untuk sekedar berpamitan kepada keluarga. Kematian juga tidak bisa dimajukan atau ditangguhkan. Hal ini tergambar dalam bait: lNampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti/. Setiap manusia juga tidak mungkin bisa lolos dari kematian, karena tiap jiwa pasti akan mengalami kematian /Siapa dapat lolos dari tuntutannya/.
Kematian akan menjemput setiap manusia baik manusia itu senang atau tidak. Bahkan dengan bahasa kiasan, kematian itu “memaksa” manusia untuk ikut dengannya. Dan kelanjutan setelah kematian adalah akhirat yang hanya ada dua pilihan yaitu sorga atau neraka.
Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa penulis ingin menyampaikan sebuah amanat penting terkait dengan kematian. Penulis ingin mengingatkan setiap orang bahwa kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu setiap orang hendaknya mempersiapkan bekal menuju akhirat. Penulis menulis puisi “Tamu” ini dimungkinkan karena adanya keprihatinan terhadap masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan dunia, bergaya hidup hedonisme, materialisme, dan melalaikan urusan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastrowardoyo, Subagio. 1990. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Grasindo
Tuan rumah menyadari bahwa ia akan pergi dengan tamu untuk bertemu dengan “dia”. Oleh karena itu, tuan rumah mengatakan bahwa ia perlu waktu untuk berpisah dengan keluarganya agar keluarganya tidak mencarinya. Tuan rumah merasa dirinya kejam apabila tidak berpamitan dahulu kepada keluarganya.
(11) Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti.
Menanggapi permintaan tuan rumah untuk berpamitan dengan keluarganya dahulu, tamu itu merasa tidak mau tahu karena mereka harus pergi saat itu juga. Tamu itu terlihat angkuh dan seakan-akan memaksa tuan rumah utntuk segera pergi dengannya.
(12) Siapa dapat lolos dari tuntutannya.
Menyadari sikap tamu, tuan rumah merasa bahwa ia tidak bisa menolak ajakan tamu untuk pergi saat itu juga tanpa ia sempat berpamitan kepada keluarganya.
(13) Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya lari entah ke mana.
Sebelum tuan rumah sempat untuk bersiap-siap, tamu itu sudah menyeretnya, berarti tamu itu memaksa tuan rumah untuk pergi dengannya. Tuan rumah diajak tamu ke kendaraannya dan ia tidak tahu akan di bawa kemana.
(14) ke sorga atau ke neraka?”
Pernyataan terakhir ini merupakan penutup narasi, kata-kata dari tuan rumah berbentuk pertanyaan, akan dibawa ia oleh tamu itu. Dibawa ke sorga atau ke neraka.
Pembacaan Hermeneutik
Memaknai puisi “Tamu” di atas justru dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan melihat pada baris terakhir, yaitu /ke sorga atau ke neraka?/. Dengan mengetahui arti lugas sorga dan neraka dapat diungkapkan bahwa tokoh “aku” dijemput oleh tamu untuk datang ke sorga atau neraka. Hal ini berarti tokoh “aku” harus meninggalkan dunia untuk kemudian menuju akhirat melalui kematian.
/Lelaki yang mengetuk pintu/ dapat diartikan sebagai utusan Tuhan, yakni malaikat yang akan menjemput setiap manusia. Waktu kedatangannya yang pagi hari menunjukkan bahwa malaikat datang dengan tiba-tiba, tanpa diketahui manusia. Lebih lanjut lagi melalui penceritaan /Aku baru bangun/ menandakan bahwa setiap manusia tidak pernah siap untuk menghadapi kedatangan malaikat (menghadapi kematian). Malaikat sendiri tidak peduli apa kegiatan manusia ketika malaikat harus mencabut nyawanya. Malaikat juga tidak peduli apakah manusia siap menghadapi kematian atau tidak. Hal ini tergambar dalam kata-kata, /Tapi rupanya ia tidak merasa tersinggung waktu aku belum mandi dan menemui dia/.
Kematian dapat menjemput manusia kapan saja dan dimana saja. Setiap manusia menyadari bahwa ia akan menghadapi kematian kemudian menghadap kepada Tuhan. Meskipun seringkali manusia melalaikan perihal kematian yang sewaktu-waktu bisa menjemputnya dikarenakan ia disibukkan oleh urusan dunia.
Karena kematian bisa menjemput tiba-tiba, sehingga tak ada waktu sedikitpun untuk sekedar berpamitan kepada keluarga. Kematian juga tidak bisa dimajukan atau ditangguhkan. Hal ini tergambar dalam bait: lNampaknya tamu itu begitu angkuh seperti tak mau dikecilkan arti/. Setiap manusia juga tidak mungkin bisa lolos dari kematian, karena tiap jiwa pasti akan mengalami kematian /Siapa dapat lolos dari tuntutannya/.
Kematian akan menjemput setiap manusia baik manusia itu senang atau tidak. Bahkan dengan bahasa kiasan, kematian itu “memaksa” manusia untuk ikut dengannya. Dan kelanjutan setelah kematian adalah akhirat yang hanya ada dua pilihan yaitu sorga atau neraka.
Dari hasil analisis di atas dapat dinyatakan bahwa penulis ingin menyampaikan sebuah amanat penting terkait dengan kematian. Penulis ingin mengingatkan setiap orang bahwa kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu setiap orang hendaknya mempersiapkan bekal menuju akhirat. Penulis menulis puisi “Tamu” ini dimungkinkan karena adanya keprihatinan terhadap masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan dunia, bergaya hidup hedonisme, materialisme, dan melalaikan urusan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastrowardoyo, Subagio. 1990. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta: Grasindo
Semoga artikel Kajian Semiotik Puisi “Tamu” Karya Subagio Sastrowardoyo bermanfaat
Salam hangat Kajian Semiotik Puisi “Tamu” Karya Subagio Sastrowardoyo, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Sifat ramalan kali ini.
0 Response to "Kajian Semiotik Puisi “Tamu” Karya Subagio Sastrowardoyo"
Posting Komentar